5Tips Merasakan Manisnya Ibadah

Nikmatnya beribadah tak sebanding dengan nikmatnya dunia ini. Cuma hamba-hamba pilihan yang dapat merasakan manisnya ibadah. Tentunya baginda Rasulullah Saw orang nomor pertama yang dapat mengecap manisnya ibadah. Sampai-sampai kaki Rasulullah Saw sampai bengkak karena terlalu lama melaksanakan ibadah shalat sunat. Saat seorang hamba mampu merasakan nikmatnya ibadah, ia akan berlama-lama untuk "berjumpa, berbicara, dan bercengkrama" dengan Allah Swt. Agar dapat merasakan manisnya ibadah, ada 5 resep yang perlu dijalani:

1. Mujahadah (bersungguh-sungguh)

Saat beribadah seseorang harus bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadahnya. Ia harus didasari ilmu, amal, dan istiqamah. Untuk mendapatkan cinta dan ridha Allah Swt bukan hal mudah. Butuh usaha keras dari seorang untuk mengejar cinta-Nya, yakni dengan ibadah-ibadah. Allah Ta'ala berfirman dalam surat Al-Ankabut ayat 69 yang artinya “Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”

2. Menjauhkan diri dari dosa (Bu’udun ‘aniz zanbi)

Hamba yang benar-benar ingin merasakan lezatnya ibadah, harus mampu menahan diri dari perbuatan dosa. Seorang pendosa yang berterusan mengulangi dosanya tanpa taubat, akan sulit untuk mencapai kenikmatan ibadah. Bahkan, ia akan dijauhkan dari perbuatan bernilai ibadah. Contoh sederhana, seorang hamba yang bermaksiat ketika siang hari, akan sulit untuk bangun malam. Pasalnya, qiyamullail itu adalah hadiah Allah Swt kepada hamba yang mampu bersyukur dengan nikmat yang diberikan. Tahajud adalah bonus dari Allah Swt bagi hamba-Nya yang bisa menjaga diri di siang hari. Kesempatan ibadah malam hanya diberikan bagi hamba yang mampu menahan diri dari dosa ketika siang hari. Teringat dengan sebuah qasidah waqtus sahar yang penggalan artinya “berapa banyak banyak pula para hamba yang termuliakan dengan terhubung hatinya (pada malam hari) dengan Sang Nabi Saw.”
3. Menghindari banyak makan, minum, tidur, kalam, dan pandangan liar
Perut yang kenyang akan membuat seseorang malas beribadah. Sebuah pandangan yang haram akan melahirkan setitik noda hitam di hati. Noda itu nantinya akan merembes dan menyebar menghitamkan seluruh hati kalau tidak segera dibersihkan. Saat hati ternoda, maka ibadah juga akan terganggu, karena qalbul mu’minin, baitullah (hati orang mukmin itu rumah allah). Maka sudah pasti Allah Swt tidak mau berada di hati yang kotor, karena Allah Swt Maha Suci. Jadi untuk menikmati manisnya ibadah haruslah menghindari makan yang berlebihan, minum berlebihan, berkata berlebihan, tidur berlebihan, dan melihat yang berlebihan.

4. Istihdhar (Menghadirkan hati)

Tatkala beribadah, seorang hamba eajib menghadirkan hatinya. Jangan ada pikiran lain selain mengingat dan menghadap Allah Swt. Malahan Imam Al-Ghazali Rahimahullah mengatakan bahwa orang yang hatinya lalai saat shalat (menghadap) Allah Swt, maka ibadahnya tertolak. Imam Ghazali Ra menjadikan khusyu’ sebagai rukun dalam shalat. Rasulullah Saw menceritakan, shalat akan naik setentang dengan wajah orang yang shalat ketika ia selesai mengerjakan shalat. Shalat yang naik setentang dengan muka, sesuai dengan tingkat kekhusyukan Si Pendiri Shalat. Shalat itu akan menyapa si empunya. Kalau shalatnya baik, maka shalat itu akan diangkat dan disimpan di lauh mahfuzh. Sebaliknya, apabila shalatnya asal-asalan dan tidak khusyu’, maka shalat itu akan diambil malaikat dan dilemparkan ke atas muka kita, na’uzubillah. Maka sudah sepantasnya, orang yang beribadah harus benar-benar menghadirkan hatinya.

5. Meyakinkan diri bahwa Allah Swt membalas setiap ibadah yang dikerjakan

Seseorang yang beribadah harus yakin bahwa Allah Swt akan membalas setiap ibadah yang dikerjakannya. Balasan Allah Swt itu sesuai dengan nilai ibadah yang dikerjakan. Semakin banyak ibadah, maka semakin banyak balasan dari Allah Swt. Balasan itu juga sesuai dengan tingkat kekhusyukan yang dirasakan seorang hamba.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“ustadznya rajin baca dan semangat” Akan tetapi kami berharap semoga Allah selalu meluruskan niat kami dan kita semua dalam beribadah dan bedakwah di jalan-Nya. Kita tidak berharap semoga setiap tulisan tentang ilmu dan yang kami tulis, kamilah yang pertama mempraktekkanya. Kami berharap setiap status nasehat yang kami upload, kamilah yang pertama melakukannya. Kami berharap setiap petikan faidah yang kami petik, kamilah yang pertama menerapkannya.   Disebut berilmu jika mengamalkannya Sahabat Abu Dar’da radhiallahu anhu berkata, لا تكون عالماً حتى تكون متعالماً ، ولا تكون بالعلم عالماً حتى تتكون به عاملاً “Tidaklah seorang berlimu sampai ia belajar (sebelumnya), tidaklah seorang berilmu terhadap suatu ilmu sampai ia mengamalkannya.”[1] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, لا يزال العالم جاهلاً بما علم حتى يعمل به ، فإذا عمل به كان عالماً “Seorang ‘Alim (berilmu)  itu masih dianggap Jaahil (bodoh) apabila dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka jadilah dia seorang yang benar-benar ‘Alim (berilmu).”[2]     Berusaha mengamalkan ilmu Imam Ahmad rahimahullah berkata, ما كتبت حديثا إلا وقد عملت به حتى مر بي أن النبي صلى الله عليه وسلم ) احتجم وأعطى أبا طيبه دينارا فأعطيت الحجام دينارا حين احتجمت “Tidak pernah aku menulis sebuah hadits pun kecuali aku akan berusaha mengamalkan hadits tersebut. Hingga pada suatu ketika, sampai kepadaku sebuah hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam dan memberi upah kepada Abu Thayyibah (tukang bekam) sebanyak satu dinar, maka aku pun memberikan upah satu dinar kepada tukang bekam setiap kali aku berbekam.”[3] Asy-Sya’bi rahimahullah berkata, كنا نستعين علي حفظ الحديث بالعمل به ، وكنا نستعين على طلبه بالصوم “Kami berusaha menghapal hadits dengan mengamalkannya dan kami berusaha menuntut ilmu dengan bantuan berpuasa.”[4] Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla berfirman, جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.” [Al-Waqi’ah: 24]   Allah TIDAK berfirman, جَزَاء بِمَا كَانُوا يعَلمُونَ “Sebagai balasan apa yang telah mereka ketahui.”     Kemurkaan Allah jika sekedar teori dan tidak mengamalkan ilmu ِAllah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Hal (itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (sh-Shaff: 3)   Demikian juga Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam sahihnya, beliau berkata, حَدَّثَنَا عَلِيٌّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ قِيلَ لِأُسَامَةَ لَوْ أَتَيْتَ فُلَانًا فَكَلَّمْتَهُ قَالَ إِنَّكُمْ لَتُرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ إِنِّي أُكَلِّمُهُ فِي السِّرِّ دُونَ أَنْ أَفْتَحَ بَابًا لَا أَكُونُ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ وَلَا أَقُولُ لِرَجُلٍ أَنْ كَانَ عَلَيَّ أَمِيرًا إِنَّهُ خَيْرُ النَّاسِ بَعْدَ شَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا وَمَا سَمِعْتَهُ يَقُولُ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلَانُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ رَوَاهُ غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ Ali menuturkan kepada kami, Sufyan menuturkan kepada kami dari al-A’masy dari Abu Wa’il dia berkata;ada orang yang berkata kepada Usamah, “Seandainya saja engkau mau mendatangi si fulan dan berbicara menasihatinya.” Maka dia menjawab, “Apakah menurut kalian aku tidak berbicara dengannya melainkan aku harus menceritakannya kepada kalian. Aku sudah menasihatinya secara rahasia. Aku tidak ingin membuka pintu yang menjadikan aku sebagai orang pertama yang membuka pintu fitnah itu -menasihati penguasa dengan terang-terangan-. Aku pun tidak akan mengatakan kepada seseorang sebagai orang yang terbaik -walaupun dia adalah pemimpinku- setelah aku mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Mereka bertanya, “Apa yang kamu dengar dari beliau itu?”. Dia menjawab; Aku mendengar beliau bersabda, “Akan didatangkan seorang lelaki pada hari kiamat kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka danterburailah isi perutnya di neraka sebagaimana seekor keledai yang berputar mengelilingi penggilingan. Maka berkumpullah para penduduk neraka di sekitarnya. Mereka bertanya, “Wahai fulan, apa yang terjadi padamu, bukankah dahulu kamu memerintahkan yang ma’ruf kepada kami dan melarang kami dari kemungkaran?”. Lelaki itu menjawab, “Dahulu aku memerintahkan kalian mengerjakan yang ma’ruf sedangkan aku tidak melakukannya. Dan aku melarang kalian dari kemungkaran namun aku justru melakukannya.” [5]   Ilmu akan ditanya dan dipertanggung jawabkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia ditanya tentang umurnya untuk apa dihabiskan; tentang ilmunya, apa yang dia amalkan; tentang hartanya, dari mana dia dapatkan dan pada perkara apa dia infakkan (belanjakan); serta tentang badannya, pada perkara apa dia gunakan.”[6] Beliau juga besabda, القُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ “Al-Quran akan menjadi hujjah (yang akan membela) engkau atau akan menjadi bumerang yang akan menyerangmu. “[7]   Semoga kita selalu bisa mengamalkan ilmu kita Dengan senantiasa berdoa (terutama sebelum salam shalat)  agar kita selalu mendapat bantuan dari Allah agar kita bisa beribadah kepada-Nya. اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik. [Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir pada-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu].”[8] Semoga kita segera sadar bahwa ilmu yang tidak kita amalkan ternyata menunjukkan bahwa niat kita menuntut ilmu tidak benar, bisa jadi pujian dan sanjungan manusia saja. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, كُلُّ عِلْمٍ وَعَمَلٍ لاَ يَزِيْدُ الإِيمَانَ واليَقِيْنَ قُوَّةً فَمَدْخُوْلٌ، وَكُلُّ إِيمَانٍ لاَ يَبْعَثُ عَلَى الْعَمَلِ فَمَدْخُوْلٌ “Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan keyakinan maka telah termasuki (terkontaminasi niat ikhlasnya, pent), dan setiap iman yang tidak mendorong untuk beramal maka telah termasuki (tercoreng).”[9]   Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walamdulillahi robbil ‘alamin.

Dari Mujahadah ke Muraqabah, sampailah pada Musyahadah